Pedagogi & Andragogi
Malcolm Knowles menyatakan bahwa apa yang kita ketahui tentang belajar selama ini adalah merupakan kesimpulan dari berbagai kajian terhadap perilaku kanak-kanak dan binatang percobaan tertentu. Pada umumnya memang, apa yang kita ketahui kemudian tentang mengajar juga merupakan hasil kesimpulan dari pengalaman mengajar terhadap anak-anak. Sebagian besar teori belajar-mengajar, didasarkan pada perumusan konsep pendidikan sebagai suatu proses pengalihan kebudayaan. Atas dasar teori-teori dan asumsi itulah kemudian tercetus istilah "pedagogi" yang akar-akarnya berasal dari bahasa Yunani, paid berarti kanak-kanak dan agogos berarti memimpin. Kemudian Pedagogi mengandung arti memimpin anak-anak atau perdefinisi diartikan secara khusus sebagai "suatu ilmu dan seni mengajar kanak-kanak". Akhirnya pedagogi kemudian didefinisikan secara umum sebagai "ilmu dan seni mengajar".
Di lain pihak perubahan yang terjadi seperti inovasi dalam teknologi, mobilitas penduduk, perubahan sistem ekonomi, politik dan sejenisnya begitu cepat terjadi. Dalam kondisi seperti ini, maka pengetahuan yang diperoleh seseorang ketika ia berumur 21 tahun akan menjadi usang ketika ia berumur 41 tahun. Apabila demikian, maka pendidikan sebagai suatu proses transmisi pengetahuan sudah tidak lagi dirumuskan sebagai upaya untuk mentransformasian pengetahuan, tetapi dirumuskan sebagai proses penemuan sepanjang hayat terhadap apa yang dibutuhkan untuk diketahui.
Dalam dua dekade terakhir, di kalangan ahli pendidikan orang dewasa telah berkembang baik di Eropa maupun di Amerika dan Asia suatu teori mengenai cara mengajar orang dewasa. Untuk membedakan dengan “pedagogi”, maka teori tersebut dikenal dengan nama “andragogi”. Istilah “andragogi” sebagai istilah teori filsafat pendidikan telah digunakan sejak tahun 1833 oleh Alexander Kapp bangsa Jerman yang bekerja sebagai guru sekolah grammar, istilah tersebut hilang dalam peredaran zaman. Tahun 1921 istilah tersebut dimunculkan kembali oleh Eugene Rosentock, seorang pengajar di akademik buruh Frankrut.
1. Citra Diri
Citra diri seorang anak-anak adalah bahwa dirinya tergantung pada orang lain. Pada saat anak itu menjadi dewasa, ia menjadi kian sadar dan merasa bahwa ia dapat membuat keputusan untuk dirinya sendiri. Perubahan dari citra ketergantungan kepada orang lain menjadi citra mandiri. Hal ini disebut sebagai pencapaian tingkat kematangan psikologis atau tahap masa dewasa. Dengan demikian, orang yang telah mencapai masa dewasa akan berkecil hati apabila diperlakukan sebagai anak-anak. Dalam masa dewasa ini, seseorang telah memiliki kemauan untuk mengarahkan diri sendiri untuk belajar. Dorongan hati untuk belajar terus berkembang dan seringkali justru berkembang sedemikian kuat untuk terus melanjutkan proses belajarnya tanpa batas. Implikasi dari keadaan tersebut adalah dalam hal hubungan antara guru dan murid. Pada proses andragogi, hubungan itu bersifat timbal balik dan saling membantu. Pada proses pedagogi, hubungan itu lebih ditentukan oleh guru dan bersifat mengarah.
2. Pengalaman
Orang dewasa dalam hidupnya mempunyai banyak pengalaman yang sangat beraneka. Pada anak-anak, pengalaman itu justru hal yang baru sama sekali.Anak-anak memang mengalami banyak hal, namun belum berlangsung sedemikian sering. Dalam pendekatan proses andragogi, pengalaman orang dewasa justru dianggap sebagai sumber belajar yang sangat kaya. Dalam pendekatan proses pedagogi, pengalaman itu justru dialihkan dari pihak guru ke pihak murid. Sebagian besar proses belajar dalam pendekatan pedagogi, karena itu, dilaksanakan dengan cara-cara komunikasi satu arah, seperti ; ceramah, penguasaan kemampuan membaca dan sebagainya. Pada proses andragogi, cara-cara yang ditempuh lebih bersifat diskusi kelompok, simulasi, permainan peran dan lain-lain. Dalam proses seperti itu, maka semua pengalaman peserta didik dapat didayagunakan sebagai sumber belajar.
3. Kesiapan Belajar
Perbedaan ketiga antara pedagogi dan andragogi adalah dalam hal pemilihan isi pelajaran. Dalam pendekatan pedagogi, gurulah yang memutuskan isi pelajaran dan bertanggung jawab terhadap proses pemilihannya, serta kapan waktu hal tersebut akan diajarkan. Dalam pendekatan andragogi, peserta didiklah yang memutuskan apa yang akan dipelajarinya berdasarkan kebutuhannya sendiri. Guru sebagai fasilitator.
4. Nirwana Waktu dan Arah Belajar
Pendidikan seringkali dipandang sebagai upaya mempersiapkan anak didik untuk masa depan. Dalam pendekatan andragogi, belajar dipandang sebagai suatu proses pemecahan masalah ketimbang sebagai proses pemberian mata pelajaran tertentu. Karena itu, andragogi merupakan suatu proses penemuan dan pemecahan masalah nyata pada masa kini. Arah pencapaiannya adalah penemuan suatu situasi yang lebih baik, suatu tujuan yang sengaja diciptakan, suatu pengalaman pribadi, suatu pengalaman kolektif atau suatu kemungkinan pengembangan berdasarkan kenyataan yang ada saat ini. Untuk menemukan "dimana kita sekarang" dan "kemana kita akan pergi", itulah pusat kegiatan dalam proses andragogi. Maka belajar dalam pendekatan andragogi adalah berarti "memecahkan masalah hari ini", sedangkan pada pendekatan pedagogi, belajar itu justru merupakan proses pengumpulan informasi yang sedang dipelajari yang akan digunakan suatu waktu kelak.
Teori Belajar Orang Dewasa dan Tokohnya
1. Carl Rogers
Carl R Rogers (1951) mengajukan konsep pembelajaran yaitu “ Student-Centered Learning” yang intinya yaitu: (1) kita tidak bisa mengajar orang lain tetapi kita hanya bisa menfasilitasi belajarnya; (2) Seseorang akan belajar secarasignifikan hanya pada hal-hal yang dapat memperkuat/menumbuhkan “self”nya; (3) Manusia tidak bisa belajar kalau berada di bawah tekanan (4) Pendidikan akan membelajarkan peserta didik secara signifkan bila tidak ada tekanan terhadap peserta didik, dan adanya perbedaan persepsi/pendapat difasilitasi/diakomodir. Peserta didik orang dewasa menurut konsep pendidikan adalah: (1) meraka yang berperilaku sebagai orang dewasa, yaitu orang yang melaksanakan peran sebagai orang dewasa; (2) meraka yang mempunyai konsep diri sebagai orang dewasa.
2. Robert M. Gagne
Gagne mengemukakan yang terpenting bagi pendidikan orang dewasa terutama yang berkaitan dengan kondisi belajar. Menurutnya ada delapan hierarki tipe belajar seperti diuraikan sebagai berikut:
- Belajar Berisyarat; belajar berisyarat dapat pada tingkatan mana saja dari hierarki sebagai suatu bentuk: Classical Conditioning. Tipe belajar ini dapat terjadi pada anak-anak maupun orang dewasa dalam bentuk sikap dan prasangka.
- Belajar Stimulus Respon; belajar stimulus respon adalah sama dengan Operant Conditioning, yang responnya berbentuk ganjaran. Dua tipe berikutnya adalah rangkaian motorik dan verbal, berbeda pada tingkatan yang sama dalam hierarki.
- Rangkaian motorik tidak lain dari belajar keterampilan, sedangkan
- Rangkaian verbal adalah belajar dengan cara menghafal (rote learning).
- Diskriminasi Berganda; dalam belajar diskriminasi ganda, memasuki kawasan keterampilan intelektual berupa kemampuan membedakan antara beberapa jenis gejala yang serupa. Dengan tipe belajar ini, peserta belajar diharapkan memiliki kemampuan untuk menetapkan mana di antara tipe tersebut yang tepat untuk sesuatu situasi khusus.
- Belajar Konsep; adalah kemampuan berpikir abstrak yang mulai dipelajari pada masa remaja (adolesence). Belajar konsep merupakan salah satu unsur yang membedakan antara pendidikan orang dewasa dibandingkan dengan pendidikan anak-anak dilihat dari tingkatan pemikiran tentang konsep.
- Belajar Aturan; merupakan kemampuan merespon terhadap keseluruhan isyarat, merupakan tipe belajar yang penting dalam pendidikan orang dewasa. Belajar pemecahan masalah merupakan tingkat tertinggi dalam tipe belajar menurut hierarki Gagne.
- Pemecahan Masalah; Tipe pemecahan masalah bertujuan untuk menemukan jawaban terhadap situasi problematik.
3. Paulo Freire
Paulo Freire adalah seorang pendidik di negara Brazilia yang gagasannya tentang pendidikan orang dewasa. Menurut Flaire, pendidikan dapat dirancang untuk percaya pada kemampuan diri pribadi (self affirmation) yang pada akhirnya menghasilkan kemerdekaan diri. Ia terkenal dengan gagasannya yang disebut dengan conscientization yang terdapat tiga prinsip:
a. Tak seorang pun yang dapat mengajar siapapun juga,
b. Tak seorang pun yang belajar sendiri,
c. Orang-orang harus belajar bersama-sama, bertindak di dalam dan pada dunia mereka.
Gagasan ini memberikan kesempatan kepada orang dewasa untuk melakukan analisis kritis mengenali lingkungannya, untuk memperdalam persepsi diri mereka dalam hubungannya dengan lingkungannya dan untuk membina kepercayaan terhadap kemampuan sendiri dalam hal kreativitas kapablitasnya untuk melakukan tindakan. Fasilitator dan peserta belajar hendaknya bersama-sama bertanggung jawab terhadap berlangsungnya proses pengembangan fasilitator dan peserta belajar.
4. Jack Mezirow
Mezirow adalah Teacher College Universitas Columbia, beliau mengemukakan: “Belajar dalam kelompok pada umumnya merupakan alat yang paling efektif untuk menimbulkan perubahan dalam sikap dan perilaku individu”.
Mezirow berpendapat bahwa pendidikan sebagai suatu kekuatan pembebasan individu dari belenggu dominasi budaya penjajah, namun ia melihat kemerdekaan dari perspektif yang lebih bersifat psikologis, dan kegiatan belajar sebagai suatu metode yang dapat digunakan untuk mengubah realita masyarakat.
Keinginan belajar terjadi sebagai akibat dari refleksi pengalaman, dan ia menyatakan adanya perbedaan tingkatan refleksi, menetapkan perbedaan refleksi dan menetapkan tujuh tingkatan refleksi yang mungkin terjadi dalam masa kedewasaan, yaitu:
a. Refleksivitas: kesadaran akan persepsi khusus, arti dan perilaku
b. Refleksivitas Afektif: kesadaran akan bagaimana individu merasa tentang apa yang dirasakan, dipikirkan atau dilakukan.
c. Refleksivitas Diskriminasi: menilai kemanjuran (efficacy) persepsi, dll.
d. Refleksivitas Pertimbangan: membuat dan menjadikan sadar akan nilai pertimbangan yang dikemukakan.
e. Refleksivitas Konseptual: menilai kememadaian konsep yang digunakan untuk pertimbangan.
f. Refleksivitas Psikis: pengenalan kebiasaan membuat penilaian perasaan
Mengenai dasar informasi terbatas.
g. Refleksivitas Teoritis: kesadaran akan mengapa satu himpunan perspektif lebih atau kurang memadai untuk menjelaskan pengalaman personal.
Aplikasi Teori Andragogi dalam Kegiatan Belajar dan Pembelajaran
Permasalahan yang paling sering muncul dalam pelaksanaan pendidikan luar sekolah adalah hasil belajar, output dan outcomenya. Ketidakmampuan peserta memahami dengan baik materi dalam bentuk pengetahuan, sikap, dan keterampilan merupakan indikasi kurang berhasilnya kegiatan pendidikan luar sekolah. Rendahnya hasil belajar sebagai indikator dari ketidakberhasilan pembelajaran, dimana peserta maupun tidak mampu menerima dengan baik bahan belajar yang diajarkan oleh tutor. Salah satu penyebab ketidakberhasilan pembelajaran pendidikan luar sekolah adalah metode pembelajaran yang tidak sesuai dengan prosedur pelaksanaannya dan andragogi belum diterapkan secara maksimal dalam pelaksanaan pembelajaran.
Secara jelas Knowles (1979: 11-27 ) menyatakan apabila warga belajar telah berumur 17 tahun, penerapan prinsip andragogi dalam kegiatan pembelajarannya telah menjadi suatu kelayakan. Usia warga belajar pada kelompok belajar program PLS rata-rata di atas 17 tahun, sehingga dengan sendirinya penerapan prinsip andragogi pada kegiatan pembelajarannya semestinya diterapkan.
Perlunya penerapan prinsip andragogi dalam pendekatan pembelajaran orang dewasa dikarenakan upaya membelajarkan orang dewasa berbeda dengan upaya membelajarkan anak. Membelajarkan anak (pedagogi) lebih banyak merupakan upaya mentransmisikan sejumlah pengalaman dan keterampilan dalam rangka mempersiapkan anak untuk menghadapi kehidupan di masa datang. Apa yang di transmisikan didasarkan pada pertimbangan warga belajar sendiri, apakah hal tersebut akan bermanfaat bagi warga belajar di masa datang. Sebaliknya, pembelajar-an orang dewasa (andragogi) lebih menekankan pada membimbing dan membantu orang dewasa untuk menemukan pengetahuan, keterampilan, dan sikap dalam rangka memecahkan, masalah-masalah kehidupan yang dihadapinya. Ketepatan pendekatan yang digunakan dalam penyelenggaraan suatu kegiatan pembelajaran tentu akan mempengaruhi hasil belajar warga belajar.
Bagi tenaga kependidikan luar sekolah, teori belajar orang dewasa tidak hanya diketahui, tetapi harus dapat diaplikasikan dalam setiap kegiatan belajar dan membelajarkan agar proses atau interaksi belajar yang dikelolanya dapat berlangsung secara efektif dan efisien. Berikut akan dikemukakan karakteristik dari setiap kegiatan belajar secara teori belajar orang dewasa yang dapat diaplikasikan pada setiap tahap kegiatan belajar.
Daftar Pusaka :
Sukadji,S. (2000). Psikologi pendidikan dan psikologi sekolah.Depok: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3) Fakultas Psikologi Universitas
Comments
Post a Comment